Jumat, 15 Juli 2011

Gordang Adalah Alat Musik Mandailing

Gordang sebagai Musik Komunitas Petani

Di Mandailing banyak ditemukan tempat pemukiman penduduk yang disebut huta. Nama-nama huta di kawasan Mandailing Julu antara lain Huta Dangka, Huta Pungkut, Huta Godang, dan Huta Padang, sedangkan Huta Namale, Huta Bargot, dan Huta Siantar terdapat di kawasan Mandailing Godang. Di suatu huta biasanya juga terdapat tempat-tempat pemukiman penduduk yang disebut banjar; lebih besar sedikit dari banjar dinamakan lumban, dan pagaran adalah tempat pemukiman yang lebih besar dari lumban. Di masa lalu setiap huta memiliki wilayah kekuasaan dan sistem pemerintahan sendiri yang otonom. Pemimpin adat (tradisional)pada setiap huta adalah Namora Natoras yang dikepalai oleh seorang raja bernama Raja Pamusuk. Sedangkan gabungan dari beberapa huta, sebagai pengembangan (pecahan) dari satu ”huta induk” yang sama, yang disebut Janjian adalah merupakan suatu ”kerajaan kecil” yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Seperti Kerajaan Tamiang di Mandailing Julu dahulu dipimpin oleh Raja Panusunan Tamiang gelar Patoean Dolok III (1932-1946) meliputi 14 (empat belas) ”huta anak” yaitu Tobang, Botung Dolok, Botung Julu, Botung Lombang, Gudang Botung, Muara Botung, Husortolang, Patialo, Pagaran Dolok, Muara Tagor, Huta Dangka, Huta Pungku Jae, Huta Pungkut Tonga, dan Huta Pungkut Julu. Setiap kerajaan (kecil) di Mandailing memiliki balai sidang adat yang disebut Sopo Godang, yang letaknya berdekatan dengan Bagas Gordang yang digunakan sebagai tempat tinggal sang raja.

Orang-orang yang hidup sebagai warga komunitas huta di Mandailing umumnya adalah petani. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka menanam padi di sawah dan berkebun di ladang. Namun tidak semua warga memiliki sawah di sekitar tempat tinggal mereka karena keterbatasan areal persawahan di setiap huta. Karena itu mereka membuka areal persawahan di tempat-tempat lain meskipun agak jauh dari tempat pemukiman. Bahkan tidak sedikit warga huta yang menaman padi di daerah perbukitan yang disebut marhauma. Selain menanam padi di ladang itu, mereka juga menanam tanaman palawija seperti jagung, cabai, umbi-umbian, kacang-kacangan dan sayur-sayuran. Di antara mereka ada yang tinggal (menetap) di situ untuk menjaga tanam-tanamanya agar tidak dirusak atau dimakan habis oleh binatang liar seperti kera dan babi hutan.

Beberapa orang yang sudah cukup tua usianya pernah mengatakan bahwa leluhur mereka dahulu sebenarnya menetap di daerah perbukitan yang disebut tor. Namun dalam perkembangannya kemudian para leluhur mereka itu turun ke lembah-lembah perbukitan dan di dataran rendah itu leluhur mereka menanam padi dengan sistem irigasi persawahan yang airnya bersumber dari batang (sungai) atau aek (anak sungai). Selanjutnya mereka mendirikan rumah dan menetap serta beranak-pinak di situ, yang semakin lama semakin ramai, hingga akhirnya menjadi tempat pemukiman (kampung) yang baru. Keterangan dari orang-orang tua tersebut dapat diyakini kebenarannya mengingat banyaknya tempat-tempat pemukiman lama di Mandailing yang disebut lobu atau huta lobu. Di huta lobu ini dapat ditemukan kuburan-kuburan tua sebagai tempat pemakaman para leluhur mereka dahulu, seperti area tertentu bernama Mandala Sena di banua Maga terdapat huta lobu dari leluhur marga Rangkuti.

Dalam aktivitas bercocok tanam padi di ladang (marhauma) tersebut, dan juga untuk menanam tanaman palawija, diperlukan satu alat khusus semacam ”tugal”. Alat ini terbuat dari sepotong kayu, yang panjangnya satu meter lebih dan berdiameter sekitar tiga sampai empat sentimeter, dan pada salah satu ujungnya diruncingkan untuk melobangi tanah. Di Mandailing, alat ini dinamakan ordang, dan kegiatan menanam tanaman tersebut disebut mangordang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar